Pemilu 1955.
Ini merupakan Pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan Pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan Pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, Pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata Pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.
Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat
X, Pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk
memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih
anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa
Pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR,
tidak ada Konstituante.
Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan Pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan Pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan.
Tidak terlaksananya Pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU
Pemilu.
2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar
kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan
dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain, para pemimpin lebih
disibukkan oleh urusan konsolidasi.
Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan Pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelenggarakan Pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warga negara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf. Sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.
Kemudian pada paruh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan Pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan Pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang Pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa Pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.
Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu, sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan Pemilu dengan segala cara. Karena Pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Konstituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.
Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota DPR.
No.
|
Partai/Nama Daftar
|
Suara
|
%
|
Kursi
|
1.
|
Partai Nasional Indonesia (PNI)
|
8.434.653
|
22,32
|
57
|
2.
|
Masyumi
|
7.903.886
|
20,92
|
57
|
3.
|
Nahdlatul Ulama (NU)
|
6.955.141
|
18,41
|
45
|
4.
|
Partai Komunis Indonesia (PKI)
|
6.179.914
|
16,36
|
39
|
5.
|
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
|
1.091.160
|
2,89
|
8
|
6.
|
Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
|
1.003.326
|
2,66
|
8
|
7.
|
Partai Katolik
|
770.740
|
2,04
|
6
|
8.
|
Partai Sosialis Indonesia (PSI)
|
753.191
|
1,99
|
5
|
9.
|
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
|
541.306
|
1,43
|
4
|
10.
|
Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
|
483.014
|
1,28
|
4
|
11.
|
Partai Rakyat Nasional (PRN)
|
242.125
|
0,64
|
2
|
12.
|
Partai Buruh
|
224.167
|
0,59
|
2
|
13.
|
Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS)
|
219.985
|
0,58
|
2
|
14.
|
Partai Rakyat Indonesia (PRI)
|
206.161
|
0,55
|
2
|
15.
|
Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)
|
200.419
|
0,53
|
2
|
16.
|
Murba
|
199.588
|
0,53
|
2
|
17.
|
Baperki
|
178.887
|
0,47
|
1
|
18.
|
Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro
|
178.481
|
0,47
|
1
|
19.
|
Grinda
|
154.792
|
0,41
|
1
|
20.
|
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)
|
149.287
|
0,40
|
1
|
21.
|
Persatuan Daya (PD)
|
146.054
|
0,39
|
1
|
22.
|
PIR Hazairin
|
114.644
|
0,30
|
1
|
23.
|
Partai Politik Tarikat Islam (PPTI)
|
85.131
|
0,22
|
1
|
24.
|
AKUI
|
81.454
|
0,21
|
1
|
25.
|
Persatuan Rakyat Desa (PRD)
|
77.919
|
0,21
|
1
|
26.
|
Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM)
|
72.523
|
0,19
|
1
|
27.
|
Angkatan Comunis Muda (Acoma)
|
64.514
|
0,17
|
1
|
28.
|
R.Soedjono Prawirisoedarso
|
53.306
|
0,14
|
1
|
29.
|
Lain-lain
|
1.022.433
|
2,71
|
-
|
Jumlah
|
37.785.299
|
100,00
|
257
|
Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal
15 Desember 1955. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520,
tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka
kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante
menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi,
meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267
dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR. Peserta
pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan kursi itu adalah sebagai
berikut:
Hasil Pemilu 1955 untuk
Anggota Konstituante.
No.
|
Partai/Nama Daftar
|
Suara
|
%
|
Kursi
|
|
1.
|
Partai Nasional Indonesia (PNI)
|
9.070.218
|
23,97
|
119
|
|
2.
|
Masyumi
|
7.789.619
|
20,59
|
112
|
|
3.
|
Nahdlatul Ulama (NU)
|
6.989.333
|
18,47
|
91
|
|
4.
|
Partai Komunis Indonesia (PKI)
|
6.232.512
|
16,47
|
80
|
|
5.
|
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
|
1.059.922
|
2,80
|
16
|
|
6.
|
Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
|
988.810
|
2,61
|
16
|
|
7.
|
Partai Katolik
|
748.591
|
1,99
|
10
|
|
8.
|
Partai Sosialis Indonesia (PSI)
|
695.932
|
1,84
|
10
|
|
9.
|
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
|
544.803
|
1,44
|
8
|
|
10.
|
Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
|
465.359
|
1,23
|
7
|
|
11.
|
Partai Rakyat Nasional (PRN)
|
220.652
|
0,58
|
3
|
|
12.
|
Partai Buruh
|
332.047
|
0,88
|
5
|
|
13.
|
Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS)
|
152.892
|
0,40
|
2
|
|
14.
|
Partai Rakyat Indonesia (PRI)
|
134.011
|
0,35
|
2
|
|
15.
|
Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)
|
179.346
|
0,47
|
3
|
|
16.
|
Murba
|
248.633
|
0,66
|
4
|
|
17.
|
Baperki
|
160.456
|
0,42
|
2
|
|
18.
|
Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro
|
162.420
|
0,43
|
2
|
|
19.
|
Grinda
|
157.976
|
0,42
|
2
|
|
20.
|
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)
|
164.386
|
0,43
|
2
|
|
21.
|
Persatuan Daya (PD)
|
169.222
|
0,45
|
3
|
|
22.
|
PIR Hazairin
|
101.509
|
0,27
|
2
|
|
23.
|
Partai Politik Tarikat Islam (PPTI)
|
74.913
|
0,20
|
1
|
|
24.
|
AKUI
|
84.862
|
0,22
|
1
|
|
25.
|
Persatuan Rakyat Desa (PRD)
|
39.278
|
0,10
|
1
|
|
26.
|
Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM)
|
143.907
|
0,38
|
2
|
|
27.
|
Angkatan Comunis Muda (Acoma)
|
55.844
|
0,15
|
1
|
|
28.
|
R.Soedjono Prawirisoedarso
|
38.356
|
0,10
|
1
|
|
29.
|
Gerakan Pilihan Sunda
|
35.035
|
0,09
|
1
|
|
30.
|
Partai Tani Indonesia
|
30.060
|
0,08
|
1
|
|
31.
|
Radja Keprabonan
|
33.660
|
0,09
|
1
|
|
32.
|
Gerakan Banteng Republik Indonesis (GBRI)
|
39.874
|
0,11
|
||
33.
|
PIR NTB
|
33.823
|
0,09
|
1
|
|
34.
|
L.M.Idrus Effendi
|
31.988
|
0,08
|
1
|
|
lain-lain
|
426.856
|
1,13
|
|||
Jumlah
|
37.837.105
|
514
|
Periode Demokrasi Terpimpin.
Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan Pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II.
Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang – meminjam istilah Prof. Ismail Sunny -- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.
Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.
Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemilihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau sejajar dengan presiden.
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala.
Pemilu
1971
Ketika Jenderal Soeharto diangkat
oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Soekarno dalam Sidang Istimewa
MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan Pemilu untuk mencari
legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang
mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian
diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan
menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971.
Sebagai pejabat presiden,
Soeharto tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Soekarno, hanya saja ia
melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari
sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama.
Pada prakteknya, Pemilu kedua
baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun
Soeharto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang
kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden
Soekarno.
UU yang diadakan adalah UU
tentang Pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang Pemilu
1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang
Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun.
Hal yang sangat signifikan yang
berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejebat negara pada Pemilu 1971
diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk
perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara
formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah
berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya
pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti
menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada
salah satu peserta Pemilu itu.
Dalam hubungannya dengan
pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan
Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai
dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata
mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang
meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya
sistem demiki-an lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma.
Jelasnya, pembagian kursi pada
Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, ini dalam hal ada partai yang melakukan
stembus accoord. Tetapi di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai
yang melakukan stembus acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam
dua tahap.
Tahap pembagian kursi pada Pemilu
1971 adalah sebagai berikut. Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient
di daerah pemi-lihan. Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus
accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara
itu dibagi dengan kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih ada
kursi yang tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang
meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan stembus
accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada
partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama,
sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar.
Namun demikian, cara pembagian
kursi dalam Pemilu 1971 menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara
secara nasional dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh
paling gamblang adalah bias perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang
secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi
lebih sedikit dibandingkan Parmusi. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah
ini.
No.
|
Partai
|
Suara
|
%
|
Kursi
|
1.
|
Golkar
|
34.348.673
|
62,82
|
236
|
2.
|
NU
|
10.213.650
|
18,68
|
58
|
3.
|
Parmusi
|
2.930.746
|
5,36
|
24
|
4.
|
PNI
|
3.793.266
|
6,93
|
20
|
5.
|
PSII
|
1.308.237
|
2,39
|
10
|
6.
|
Parkindo
|
733.359
|
1,34
|
7
|
7.
|
Katolik
|
603.740
|
1,10
|
3
|
8.
|
Perti
|
381.309
|
0,69
|
2
|
9.
|
IPKI
|
338.403
|
0,61
|
-
|
10.
|
Murba
|
48.126
|
0,08
|
-
|
Jumlah
|
54.669.509
|
100,00
|
360
|
Sekadar untuk perbandingan,
seandainya pembagian kursi perolehan suara partai-partai pada Pemilu 1971
dilakukan dengan sistem kombinasi sebagaimana digunakan dalam Pemilu 1955,
dengan mengabaikan stembus accoord 4 partai Islam yang mengikuti Pemilu
1971, hasilnya akan terlihat seperti pada tabel di bawah ini.
Pembagian Kursi Hasil
Pemilu 1971 Seandainya Menggunakan Sistem Kombinasi (hipotetis)
No.
|
Partai
|
Jumlah Suara Secara
Nasional
|
Jumlah Kursi Pada
Pembagian Pertama
|
Sisa Suara Setelah
Pembagian Pertama
|
Perolehan pada
Pembagian Kursi Sisa Pertama
|
Jumlah Sisa Suara
Setelah Pembagian Kursi Sisa
|
Kursi Atas Suara
Terbesar
|
Jumlah Kursi
|
1
|
Golkar
|
34.339.708
|
214
|
1.342.084
|
11
|
81.770 (III)
|
1
|
226
|
2
|
NU
|
10.201.659
|
48
|
1..323.245
|
11
|
62.931
|
-
|
59
|
3
|
PNI
|
3.793.266
|
16
|
908.061
|
7
|
106.043 (II)
|
1
|
24
|
4
|
Parmusi
|
2.930.919
|
10
|
1.389.435
|
12
|
14.547
|
22
|
|
5
|
PSII
|
1.257.056
|
1
|
1.039.280
|
9
|
8.000
|
-
|
10
|
6
|
Parkindo
|
697.618
|
1
|
628.752
|
5
|
53.882
|
-
|
6
|
7
|
Katolik
|
603.740
|
2
|
412.428
|
3
|
68.706 (IV)
|
1
|
6
|
8
|
Perti
|
380.403
|
2
|
180.240
|
1
|
65.666 (V)
|
1
|
4
|
9
|
IPKI
|
338.376
|
-
|
338.376
|
2
|
109.228 (I)
|
1
|
3
|
10
|
Murba
|
47.800
|
-
|
47.800
|
-
|
47.800
|
-
|
-
|
54.669.509
|
294
|
7.561.901
|
61
|
5
|
360
|
Catatan:
- Hasil pembagian pertama yang diperoleh partai-partai sebagaimana terlihat dalam lajur 4 (empat) sesuai dengan hasil bagi dengan kiesquotient di daerah pemilihan masing-masing. Sedangkan hasil pembagian kursi sisa pada lajur 6 (enam) merupakan hasil bagi sisa suara masing-masing partai dengan kiestquotient nasional 114.574 (7.561.901:66). Hasil pada lajur 8 (delapan) berdasarkan sisa suara terbesar atau terbanyak karena masih tersisa 7 kursi lagi.
Dengan cara pembagian kursi
seperti Pemilu 1955 itu, hanya Murba yang tidak mendapat kursi, karena pada
pembagian kursi atas dasar sisa terbesar pun perolehan suara partai tersebut
tidak mencukupi. Karena peringkat terbawah sisa suara terbesar adalah 65.666.
PNI memperoleh kursi lebih banyak dari Parmusi, karena suaranya secara nasional
di atas Parmusi.
Pemilu 1977, 1982, 1987,
1992, dan 1997.
Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan
teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah
Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5
tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan.
Satu hal yang nyata perbedaannya dengan Pemilu-pemilu
sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua
parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama
dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun
1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai
Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan
satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977,
1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi.
Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang,
sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan
sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara lang-sung dan
tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah
kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer.
Berikut ini dipaparkan hasil dari 5 kali Pemilu tersebut secara berturut-turut.
Hasil Pemilu 1977
Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara
pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti
sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang
sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar
meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun
menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971.
Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah,
bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP
berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau
bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971.
Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini seiring
dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP
di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis
NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar.
PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta,
Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah,
Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan kursi
hanya 5.
PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan
kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi
atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan Partai
Katolik. Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut bisa dilihat pada
tabel di bawah ini.
No.
|
Partai
|
Suara
|
%
|
Kursi
|
% (1971)
|
Keterangan
|
1.
|
Golkar
|
39.750.096
|
62,11
|
232
|
62,80
|
- 0,69
|
2.
|
PPP
|
18.743.491
|
29,29
|
99
|
27,12
|
+ 2,17
|
3.
|
PDI
|
5.504.757
|
8,60
|
29
|
10,08
|
- 1,48
|
Jumlah
|
63.998.344
|
100,00
|
360
|
100,00
|
Hasil Pemilu 1982
Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara
serentak pada tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi
secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya
Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara
nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan
masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242
kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan
Pemilu 1971
.
No.
|
Partai
|
Suara DPR
|
%
|
Kursi
|
% (1977)
|
Keterangan
|
1.
|
Golkar
|
48.334.724
|
64,34
|
242
|
62,11
|
+ 2,23
|
2.
|
PPP
|
20.871.880
|
27,78
|
94
|
29,29
|
- 1,51
|
3.
|
PDI
|
5.919.702
|
7,88
|
24
|
8,60
|
- 0,72
|
Jumlah
|
75.126.306
|
100,00
|
364
|
100,00
|
Hasil Pemilu 1987
Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23
April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara
yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi juga tidak
berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya.
Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan
terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya
mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi
partai itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka'bah kepada Bintang
dan terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan
Jawa Tengah.
Sementara itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi
sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat
dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil
Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah
perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40
kursi pada Pemilu 1987 ini.
No.
|
Partai
|
Suara
|
%
|
Kursi
|
% (1982)
|
Keterangan
|
1.
|
Golkar
|
62.783.680
|
73,16
|
299
|
68,34
|
+ 8,82
|
2.
|
PPP
|
13.701.428
|
15,97
|
61
|
27,78
|
- 11,81
|
3.
|
PDI
|
9.384.708
|
10,87
|
40
|
7,88
|
+ 2,99
|
Jumlah
|
85.869.816
|
100,00
|
400
|
Hasil Pemilu 1992
Cara pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama
dengan Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan
tanggal 9 Juni 1992 ini pada waktu itu agak mengagetkan banyak orang. Sebab,
perolehan suara Golkar kali ini merosot dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada
Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73,16 persen, pada Pemilu 1992 turun
menjadi 68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak nyata
bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282, atau
kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya.
PPP juga mengalami hal yang sama, meski masih bisa
menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992
ini. Tetapi di luar Jawa suara dan kursi partai berlambang ka’bah itu merosot.
Pada Pemilu 1992 partai ini kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meski ada
penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Malah partai itu tidak
memiliki wakil sama sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di Sumatera. PPP
memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan 6
kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya mampu menaikkan 1 kursi secara
nasional.
Yang berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di
berbagai daerah adalah PDI. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan
perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56
kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah
32 kursinya di DPR RI.
No.
|
Partai
|
Suara
|
%
|
Kursi
|
% (1987)
|
Keterangan
|
1.
|
Golkar
|
66.599.331
|
68,10
|
282
|
73,16
|
- 5,06
|
2.
|
PPP
|
16.624.647
|
17,01
|
62
|
15,97
|
+ 1,04
|
3.
|
PDI
|
14.565.556
|
14,89
|
56
|
10,87
|
+ 4.02
|
Jumlah
|
97.789.534
|
100,00
|
400
|
100,00
|
Hasil Pemilu 1997
Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang
digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971,
1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei
1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami
kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan
suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya
meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu
sebelumnya.
PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43
persen. Begitu pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89
kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap
partai itu di Jawa sangat besar.
Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan
terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun menjelang
pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan hanya mendapat 11 kursi,
yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992.
No.
|
Partai
|
Suara
|
%
|
Kursi
|
% (1992)
|
Keterangan
|
1.
|
Golkar
|
84.187.907
|
74,51
|
325
|
68,10
|
+ 6,41
|
2.
|
PPP
|
25.340.028
|
22,43
|
89
|
17,00
|
+ 5,43
|
3.
|
PDI
|
3.463.225
|
3,06
|
11
|
14,90
|
- 11,84
|
Jumlah
|
112.991.150
|
100,00
|
425
|
100,00
|
Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes terhadap
kecurangan terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang, Madura,
puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan penghitungan suara dianggap
keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang pun, tetapi
pemilih, khususnya pendukung PPP, tidak mengambil bagian.
Pemilu 1999
Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya
pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden
Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau
dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera
diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13
bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya
Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk
dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang
merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian
dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan
wakil presiden yang baru.
Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi
bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa
kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya
berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum
pernah terjadi sebelumnya.
Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu,
pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan
oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M.
Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).
Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU,
presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah
wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara
sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak
1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini
dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta
Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan
dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM,
yakni 141 partai.
Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah
pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah
yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan.
Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah
menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski
persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelum-nya.
Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan,
meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang
lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan
internasional.
Hasil Pemilu 1999
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan
pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni
tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak
pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada
kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara
yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun
karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara.
Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan
lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada Pemilu kali ini
sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27 partai politik
menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum
jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah
rapat pleno KPU. Ke-27 partai tersebut adalah sebagai berikut:
Partai yang Tidak
Menandatangani Hasil Pemilu 1999.
Nomor
|
Nama Partai
|
1.
|
Partai Keadilan
|
2.
|
PNU
|
3.
|
PBI
|
4.
|
PDI
|
5.
|
Masyumi
|
6.
|
PNI Supeni
|
7.
|
Krisna
|
8.
|
Partai KAMI
|
9.
|
PKD
|
10.
|
PAY
|
11.
|
Partai MKGR
|
12.
|
PIB
|
13.
|
Partai SUNI
|
14.
|
PNBI
|
15.
|
PUDI
|
16.
|
PBN
|
17.
|
PKM
|
18.
|
PND
|
19
|
PADI
|
20.
|
PRD
|
21.
|
PPI
|
22.
|
PID
|
23.
|
Murba
|
24.
|
SPSI
|
25.
|
PUMI
|
26
|
PSP
|
27.
|
PARI
|
Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian
diserahkan pimpinan KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU
tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu).
Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil
partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan
rekomen-dasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak
menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian
juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui
masyararakat tanggal 26 Juli 1999.
Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan
Indonesia) langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul
masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang
ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya pembagian kursi sisa, ditolak oleh
kelompok partai Islam yang melakukan stembus accoord. Hasil Kelompok
Kerja PPI menunjukkan, partai Islam yang melakukan stembus accoord hanya
mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok stembus accoord 8 partai Islam
menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa.
Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan
kepada KPU. Di KPU perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting
dengan dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan
memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua pembagian
tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung opsi pertama,
sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai walk out.
Ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus
accoord.
Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat
melakukan pembagian kursi hasil pemilu pada tanggal 1 September 1999. Hasil
pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau
90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan.
Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073
suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh
23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau
kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau
12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71
persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997.
PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Di luar lima
besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2
kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 1997.
Selengkapnya hasil perhitungan pembagian kursi itu seperti terlihat dalam tabel
di bawah.
No.
|
Nama Partai
|
Suara DPR
|
Kursi Tanpa SA
|
Kursi Dengan SA
|
1.
|
PDIP
|
35.689.073
|
153
|
154
|
2.
|
Golkar
|
23.741.749
|
120
|
120
|
3.
|
PPP
|
11.329.905
|
58
|
59
|
4.
|
PKB
|
13.336.982
|
51
|
51
|
5.
|
PAN
|
7.528.956
|
34
|
35
|
6.
|
PBB
|
2.049.708
|
13
|
13
|
7.
|
Partai Keadilan
|
1.436.565
|
7
|
6
|
8.
|
PKP
|
1.065.686
|
4
|
6
|
9.
|
PNU
|
679.179
|
5
|
3
|
10.
|
PDKB
|
550.846
|
5
|
3
|
11.
|
PBI
|
364.291
|
1
|
3
|
12.
|
PDI
|
345.720
|
2
|
2
|
13.
|
PP
|
655.052
|
1
|
1
|
14.
|
PDR
|
427.854
|
1
|
1
|
15.
|
PSII
|
375.920
|
1
|
1
|
16.
|
PNI Front Marhaenis
|
365.176
|
1
|
1
|
17.
|
PNI Massa Marhaen
|
345.629
|
1
|
1
|
18.
|
IPKI
|
328.654
|
1
|
1
|
19.
|
PKU
|
300.064
|
1
|
1
|
20.
|
Masyumi
|
456.718
|
1
|
-
|
21.
|
PKD
|
216.675
|
1
|
-
|
22.
|
PNI Supeni
|
377.137
|
-
|
-
|
23
|
Krisna
|
369.719
|
-
|
-
|
24.
|
Partai KAMI
|
289.489
|
-
|
-
|
25.
|
PUI
|
269.309
|
-
|
-
|
26.
|
PAY
|
213.979
|
-
|
-
|
27.
|
Partai Republik
|
328.564
|
-
|
-
|
28.
|
Partai MKGR
|
204.204
|
-
|
-
|
29.
|
PIB
|
192.712
|
-
|
-
|
30.
|
Partai SUNI
|
180.167
|
-
|
-
|
31.
|
PCD
|
168.087
|
-
|
-
|
32.
|
PSII 1905
|
152.820
|
-
|
-
|
33.
|
Masyumi Baru
|
152.589
|
-
|
-
|
34.
|
PNBI
|
149.136
|
-
|
-
|
35.
|
PUDI
|
140.980
|
-
|
-
|
36.
|
PBN
|
140.980
|
-
|
-
|
37.
|
PKM
|
104.385
|
-
|
-
|
38.
|
PND
|
96.984
|
-
|
-
|
39.
|
PADI
|
85.838
|
-
|
-
|
40.
|
PRD
|
78.730
|
-
|
-
|
41.
|
PPI
|
63.934
|
-
|
-
|
42.
|
PID
|
62.901
|
-
|
-
|
43.
|
Murba
|
62.006
|
-
|
-
|
44.
|
SPSI
|
61.105
|
-
|
-
|
45.
|
PUMI
|
49.839
|
-
|
-
|
46
|
PSP
|
49.807
|
-
|
-
|
47.
|
PARI
|
54.790
|
-
|
-
|
48.
|
PILAR
|
40.517
|
-
|
-
|
Jumlah
|
105.786.661
|
462
|
462
|
Catatan:
- Jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi mencapai 9.700.658. atau 9,17 persen dari suara yang sah.
- Apabila pembagian kursi dilakukan dengan sistem kombinasi jumlah partai yang mendapatkan kursi mencapai 37 partai dengan jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi hanya 706.447 atau 0,67 persen dari suara sah.
Cara pembagian kursi hasil pemilihan kali ini tetap
memakai sistem proporsional dengan mengikuti varian Roget. Dalam sistem ini
sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang diperolehnya di
daerah pemilihan, termasuk perolehan kursi berdasarkan the largest remainder.
Tetapi cara penetapan calon terpilih berbeda dengan
Pemilu sebelumnya, yakni dengan menentukan ranking perolehan suara suatu partai
di daerah pemilihan. Apabila sejak Pemilu 1977 calon nomor urut pertama dalam
daftar calon partai otomatis terpilih apabila partai itu mendapatkan kursi,
maka kini calon terpillih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terba-nyak
dari daerah di mana seseorang dicalonkan. Dengan demikian seseorang calon,
sebut saja si A, meski berada di urutan terbawah dari daftar calon, kalau dari
daerahnya partai mendapatkan suara terbesar, maka dialah yang terpilih. Untuk
cara penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara di Daerah Tingkat II
ini sama dengan cara yang dipergunakan pada Pemilu 1971.
Bersambung ke Sejarah Pemilu 2004-2014
Casino | New York | MapyRO
BalasHapusCasino Near 공주 출장마사지 Me | 서산 출장샵 New York. 1 Casino Rd. Manhattan, NY A 경기도 출장안마 map 김포 출장샵 showing a casino, location, phone number, address, and work history. 익산 출장안마